Peran Imajinasi Dalam Buku dan Film

Salah satu kebiasaan saya  kalau membaca buku yang kisahnya sangat berkesan adalah, ssering  larut terkenang sampai berhari-hari dengan isi ceritanya. Hal-hal kecil yang terdapat dalam kisah tsb,yang tadinya tak terlalu menjadi perhatikan, tiba-tiba saja jadi begitu menarik perhatianku

yr09Inilah beberapa contoh buku yang sempat meninggalkan kesan mendalam pada bagi saya,diantaranya adalah, buku karya Remy Sylado, Kembang Jepun. Sebuah kisah yang mengisahkan kisah perjalanan hidup seorang gadis muda yang menjadi geisha. Kisahnya sangat bagus, Gaya bercerita Remy sangat apik menggambarkan suasana batin para tokohnya yang penuh haru biru.. Sampai berhari-hari saya tak dapat menghilangkan sosok si gadis dan pengalaman hidupnya. Namun bukan hanya sosok gadis itu yang mengisi ingatanku, melainkan juga lokasi-lokasi yang digambarkan sang penulis yang diambil dari lokasi-lokasi bersejarah di pulau jawa .

Baru kutahu, bahwa nama Kembang Jepun memang pernah ada,dan menjadi nama sebuah jalan di salah satu kota di pulau jawa. Lalu beberapa nama lainnya. Dan, sayapun menjadi begitu ingin mendatanginya.

Begitu pula pada waktu membaca serial Gajah Mada yang spektakuler dan bersetting sejarah kerajaan Majapahit di masa silam. Apalagi kisah itu begitu panjang dan berseri-seri dengan halaman yang cukup tebal. Dan selama berminggu-minggu pula sampai sebulan mungkin, pikiran saya  seakan selalu dibawa kembali pada kisah dan suasana di masa Majapahit itu. Mulai dari sang tokohnya, sampai pada keterangan lokasi-lokasi sejarah dalam kisah tsb. Sayapun menjadi sering mencari artikel yang ada hubungannya dengan kerajaan Majapahit sampai pada kerajaan-kerajaan lainnya di masa itu.

Buku Geisha, termasuk buku yang kisahnya juga begitu menarik dan memberi kesan kuat, dan cukup lama. Apalagi nama depan si tokoh utama sama dengan nama depan saya. Hal-hal yang bernuansa Jepang memang sejak kecil menarik perhatianku. Jadi tak heran, selesai membaca kisah Gheisa, sayapun menjadi semakin rajin mencari hal-hal yang berhubungan dengan budaya Jepang, termasuk tentang kehidupan Gheisanya.

Buku terakhir yang sempat saya baca, dan juga meninggalkan kesan mendalam , adalah The Pillars karya Ken Follet. Setelah membaca kisahnya, saya bahkan sempat berharap suatu saat ada yang akan mengambil kisahnya untuk diangkat ke layar lebar.

Seperti film Gheisa, yang meskipun filmnya justru tak banyak meninggalkan kesan mendalam, seperti bukunya , namun saya cukup puas bisa membayangkan suasana kisahnya secara visual. Begitu pula dengan kisah little woman, yang juga pernah diangkat kelayar lebar.

Pada dasarnya setiap manusia punya imajinasi yang menunjang daya ciptanya. Lewat majinasi pulalah, segala hal yang tak mungkin, dapat terealisir dengan sesempurna mungkin, sesuai keinginan baik secara visual maupun tulisan.

Namun imajinasi tak selalu mampu menghasilkan kepekaan sang penulis ataupun sutradara film, untuk mampu menyentuh suasana batin pembaca atau penontonnya lewat kisah yang di tulisnya. Ataupun film yang dibuatnya berdasarkan kisah dalam sebuah buku. Apalagi membuatnya terkenang begitu lama. Saya menjadi  teringat dengan cerita ibu yang menurutnya sampai 3 kali menonton film legendaris Gone with the wind. Bahkan film Titanic juga sempat membuat saya menjadi begitu tertarik dengan kemisteriusan samudra Atlantik, plus segitiga bermudanya, Selain kisah cintanya yang singkat tentunya, yang dilatari dengan tenggelamnya kapal Titanic.

Yang jelas, antara film dan buku serupa tapi tak sama. Menurut Andrea Hirata, setiap penonton sudah memiliki filmmya masing-masing di kepalanya, yang bersumber dari detail kisah buku yang mereka baca. Tak heran banyak pembaca fanatik yang justru kecewa setelah menonton filmnya.Apalagi bila baik film maupun sosok artis yang mewakili karakter para tokoh di buku tsb,semuanya dianggap tak sesempurna kisah di bukunya. Bisa dianggap merusak inti cerita. Atau sebaliknya.

Saya sendiri mungkin termasuk orang yang idealis tentang hal ini.  Dan sering kecewa bila film yang saya  tonton,  terlalu banyak pengembangan di sana sini. Apalagi bila karakter tokohnya menurut saya  samasekali tak mewakili sosok yang ada di bukunya. Tak jarang, sebuah kisah yang berkesan kadang bisa membuat saya menjadi  berkhayal sendiri menjadi sutradara dan menimbang-nimbang siapa gerangan artis yang mendekati gambaran saya pada sosok si tokoh dalam bukunya. Namun, apapun adanya, imajinasi lebih penting dari pengetahuan, yang di cetuskan oleh tokoh yang dianggap sebagai ilmuwan terhebat di dunia, Albert Einstein.

Oleh Sayuri Yosiana

Komentar Pembaca:

Rusdianto Anto:

Pembaca yg kritis pada dasarnya adalah penulis yg berbakat juga.

 

Shaut Hutabarat : Cara bertutur buku [novel] dengan film memang berbeda. Jadi, jangan terlalu berharap, isi buku dengan tampilan di film bisa persis sama, ada hitung-hitungannya. Yang pastinya, mengadaptasi buku [novel] ke film tidak semudah yang kita pikirkan. Menurut pengakuan orang-orang hollywood , yang boleh dibilang sangat berhasil mengadaptasi novel ke film, zaman ini, salah satunya adalah Harry Potter.

Imam Setiaji Ronoatmojo : Pada intinya manusia mempunya keinginan untuk menghayati ke luar dari sarangnya (rumahnya/raganya), karena sang ruh yang bersemayam (ruhani) itu haus akan komunikasi kebaikan..jadi imajinasi adalah suatu yang inheren dalam diri manusia..persoalannya ini biasa diasah atau tidak, yang biasa mengasah akan sangat mudah ber-transformasi..jadi mahluk berupa karya tulis atau visual

Narpati Wisjnu Ari Pradana : Film memang sudah memberikan visual tetapi bukan berarti film memiskinkan imajinasi. Ada beberapa trik untuk tetap memberikan kesempatan berimajinasi bagi para penontonnya misalnya dengan sengaja meletakkan adegan tertentu di luar layar (offscreen). Dan itu kesalahan fatal film Watchmen yang dibuat oleh Snyder.

Merry Magdalena : Sudah coba baca karya penulis India seperti Jumpha Lahiri? Makin menambah khasanah dengan membaca buku karya penulis-penulis asing dari berbagai negara. Saya sendiri dulu ngga tertarik sama hal berbau India, tapi setelah membaca buku-buku mereka ternyata menjadi menarik juga. Lalu penulis Jepang seperti Haruki Murakami juga punya khas yg sangat menarik. Bandingkan dengan penulis-penulis barat. Memahami perbedaan budaya mampu mempengaruhi imaji penulis.

Aditya Juniar Black : Idealisme yang selalu terbentur dengan kepentingan visual dan konsep dagang produser yang mengatasnamakan tuntutan pemirsa. Aku setuju dengan pemikiran ini bahwa tulisan terbaik adalah tulisan yang membawa imajinasi visual dan membuat kita berkelana secara imajiner! Disanalah kecerdasan kita terbangun.

Yudhi Widdyantoro : Setiap sutradara baik film atau teater yg akan memfilmkan/mementaskan akan selalu berhadapan dengan 3 pihak: pembaca yg sudah punya daya visual (film) di kepalanya, novel itu sendiri, dan mungkin nama besar si pengarang. Ini repotnya. Sedikit sutradara yg sukses, sekadar menyebut: film In The Name of The Rose, Tapi bukankan memang setelah menulis, berarti dia mati, yg hidup kita yg baca, seperti kata Roland Barthes dlm The Death of The Author. Jadi  mari membaca dan berimajinasi!

Leave a Comment